Rabu, 27 Juni 2012

10 Mitos Pola Makan Anak


10 Mitos Pola Makan Anak

Apa iya, makanan bayi buatan pabrik lebih bagus dibanding buatan
sendiri? Apa iya, lebih bagus mengenalkan sayuran dulu dibanding buah?
Apa iya, anak cuma suka makanan yang itu-itu saja? Bingung deh. Apalagi
jika orangtua, teman, atau tetangga, memberi saran berbeda-beda. Yuk,
teliti mana yang mitos dan mana yang fakta!
1.Âri saran berbeda-beda. Yuk,
teliti mana yang mitos dan mana yang fakta!
1. Mitos:
Jika bayi mengalami sembelit saat disususi susu formula, ganti susu itu
dengan yang rendah zat besi.

Fakta:
Jumlah zat besi dalam susu formula tidak mempengaruhi fungsi pencernaan
usus bayi. Bahkan memberi susu formula rendah zat besi bisa menyebabkan
bayi anemia, yang bisa menurunkan kemampuan bayi belajar. Meski ASI
mengandung lebih sedikit zat besi, namun zat besi ini lebih mudah
diserap dalam saluran pencernaan bayi. Sebaliknya, zat besi susu formula
tak mudah diserap, sehingga mesti ditambahkan lebih banyak agar bayi
memperoleh cukup zat besi. Jika bayi mengalami sembelit, diskusikan
dengan dokter untuk menambahkan sedikit jus buah ke dalam menu makannya.
2. Mitos:
Kalau mau mengenalkan makanan padat, gunakan makanan botolan, karena
lebih sehat.
Fakta:
Makanan bayi yang dikemas dalam botol gelas memang lebih praktis dan
sehat. Namun ini tidak mengandung zat-zat gizi yang lebih istimewa
dibanding makanan buatan sendiri. Meski membuat makanan sendiri lebih
butuh banyak waktu dan tenaga, namun ini lebih bagus sebab bayi akan
kenal dengan citarasa baru yang nantinya akan sering makin familiar saat
ia bertambah besar.












Awalnya, cobalah sajikan pure apel yang dimasak matang. Bisa juga pure
buah pir, wortel, jagung, kentang, kacang hijau, atau kacang polong.
Kita juga bisa mengenalkan pisang atau avokad yang masak.
Bayam, bit, labu, sebaiknya baru diberikan setelah bayi berusia 8 bulan,
karena mengandung senyawa nitrat, yang bisa mengganggu suplai oksigen
oleh darah ke dalam sel-sel tubuh. Saat usia bayi 9 bulan, ia bisa mulai
makan daging ayam, ikan, daging sapi, dan makanan dari kedelai seperti
tempe atau tahu, yang sudah dicincang. Jangan sajikan sup kalengan,
daging proses (kornet, sosis, sarden) atau makanan beku seperti nugget
kepada anak di bawah 1 tahun. Kandungan garam dan zat-zat aditif yan
tinggi dalam makanan ini susah dicerna bayi.
3.       Mitos:
Tidak baik jika anak makan daging atau telur secara teratur.
Fakta:
Bagi orang dewasa, memang sebaiknya mengurangi makan daging atau telur.
Namun tidak demikian untuk anak. Daging dan telur adalah sumber protein
yang sangat bagus dan memberi banyak zat besi serta mineral seng, yang
penting bagi tumbuh kembang anak. Namun hindari daging fastfood,
misalnya burger. Lebih baik, buat daging panggang atau bakso sendiri di
rumah. Jika hendak menyajikan telur, berikan yang kuning telurnya sudah
matang dan padat, bukan setengah matang. Untuk mengurangi alergi, tunda
pemberian putih telur sampai usia si kecil 1 tahun.
4.       Mitos:
Jika anak menolak makanan, jangan sajikan makanan itu lagi!
Fakta:
Beberapa penelitian menunjukkan, batita bisa saja perlu disajikan
makanan yang sama sampai 15 kali sebelum ia mau memakannya. Jika batita
menolak makanan yang kita sajikan, jangan diambil hati. Reaksinya bisa
jadi lebih karena terkejut, bukan karena tidak menyukai. Dan biasanya
batita menolak makanan baru karena tekstur atau aromanya, bukan rasanya.
Cobalah sajikan lagi. Bagus juga jika ibu menyajikan makanan baru yang
berbeda selama beberapa kali. Untuk mengurangi penolakan, sajikan
makanan baru bersama makanan lama yang jadi favoritnya.
5.       Mitos:
Anak suka makan makanan yang sama lagi dan lagi.
Fakta:
Jika batita menyukai makanan tertentu selama berhari-hari atau
berminggu-minggu, mungkin kita bepikir mitos itu benar. Anak memang suka
mengulang makan makanan yang sama. Namun anak juga punya naluri yang
kuat untuk mencoba citarasa baru. Makin banyak anak ditawari jenis
makanan, makin suka pula ia dengan makanan-makanan itu.












Jadi, sajikan sayur-sayuran, buah, atau jenis daging yang baru
kepadanya, dengan cara yang agak beda. Misal, taburkan daging ayam yang
disuwir-suwir ke dalam salad buah. Taburkan keju atau saus dressing ke
atas brokoli kukus. Atau tambahkan wortel pada saus spaghetti. Ajaklah
anak ke supermarket dan biar ia memilih sayuran mana yang disukainya,
lalu masaklah bersama-sama. Anak pasti akan menghargai dan menyukai
sayur yang dipilihnya sendiri. Bisa juga, tanamlah sayur-sayuran di
halaman rumah bersama anak, sehingga saat nantinya dipetik dan dimasak,
anak menyukainya.
6.       Mitos:
Lebih baik mengenalkan sayur lebih dulu, bukan buah. Kalau tidak, rasa
manis buah akan membuat anak tak suka sayur.
Fakta:
Tak ada bukti kalau memberikan buah lebih dulu akan menurunkan minat
anak makan sayuran. Namun apapaun yang ibu kenalkan lebih dulu, kenalkan
makanan baru secara bertahap. Cobalah makanan yang berbeda setiap 3-4
hari, lalu monitor si kecil untuk memastikan ia tidak mengalami ruam
atau sakit perut, yang merupakan tanda-tanda alergi.
7.       Mitos:
Anak-anak tidak memerlukan suplemen.
Fakta:
Umumnya orang beranggapan, pola makan yang sehat akan menyuplai anak
semua zat gizi yang ia perlukan. Namun menurut studi di AS saja, 50%
anak di sana kekurangan minimal satu jenis vitamin atau mineral, dan 11%
anak malah agak anemia. Cobalah diskusikan dengan dokter mengenai
suplemen multivitamin dan mineral yang cocok untuk anak. Jika anak
memang membutuhkan, belilah suplemen yang memberikan kandungan vitamin
atau mineral antara 50-150% RDA (kecukupan harian yang dianjurkan).
8.       Mitos:
Batasi jumlah makan anak supaya ia tidak kegemukan.
Fakta:
Anak-anak umumnya bagus dalam mengontrol pemasukan makan mereka.
Membatasi porsi makan anak malah justru berdampak negatif. Jika anak
terbiasa lapar secara rutin, mereka pun akan belajar untuk mengenyangkan
diri kapan saja saat tersedia banyak. Ini malah bisa menjadi kebiasaan
yang menimbulkan problem berat badan.
Bagi anak yang memang kelebihan berat badan, tetap sajikan makanan yang
tinggi kalori seperti makaroni, keju, cake, namun batasi jumlahnya saat
makan besar. Tambahkan lebih banyak buah dan sayuran, sehingga anak
tetap merasa kenyang. Selalu ajak juga anak untuk berolah raga bersama.
9.       Mitos:
Jangan memaniskan sayuran (misal dengan menambahkan gula). Nanti anak
tidak mau makan sayuran yang tawar.
Fakta:
Sayuran membantu melindungi anak dari sembelit, kanker, dan penyakit
jantung, dan kita sebaiknya mendorong anak untuk mengonsumsinya, dengan
berbagai cara yang kita bisa. Jika anak terbiasa makan sayuran secara
teratur, ia nantinya akan menyukai sayuran, meski rasanya tak manis.
Jadi, tak perlu merasa bersalah untuk menambahkan sedikit gula pada
kacang-kacangan atau polong-polongan, susu pada brokoli, atau madu pada
labu atau buncis. Kita juga bisa menggunakan taktik yang sama pada buah.
Irislah kiwi atau nanas dan tutupi dengan gula berwarna atau madu.
Sejumlah kecil gula ini tak akan menimbulkan karies gigi, jika diberikan
bersama makanan yang sehat dan bukan sebagai cake.
10.    Mitos:
Supaya anak tak mengalami karies gigi, sebaiknya jangan mengenalkan
makanan manis sejak kecil.
Fakta:
Melarang anak makan yang manis-manis justru tindakan yang salah. Ini
hanya membuat anak makin ingin makan makanan manis itu. Lebih bagus,
ajarkan kepada anak bahwa sesekali makan makanan bergula seperti cookie
atau permen bisa menjadi bagian dari pola makan sehat secara
keseluruhan. Namun jangan menyetok makanan-makanan itu dalam kulkas atau
lemari makan. Lebih baik sediakan kismis, buah segar, yogurt buah,
jeruk, pir, melon, cracker yang tidak manis, roti tawar dari biji gandum
utuh, susu pasteurisasi, dan semacamnya. Berikan sebagai cemilan atau
dessert (pencuci mulut). Jika anak terbiasa makan cookie, donat, atau
permen, anak mungkin akan menolak cemilan-cemilan ini, namun tetapkah
sajikan dengan konsiten. (TG)










Waspadai Kegemukan pada Anak-anak
SEBAGIAN besar orang tua akan senang melihat anaknya gemuk. Dalam pandangan mereka gemuk identik dengan sehat. Benarkah demikian? Memang, anak yang gemuk menunjukkan nafsu makan dan pertumbuhannya baik. Namun orang tua harus berhati-hati agar gemuk tidak berlanjut menjadi kegemukan atau obesitas.
Perubahan gaya hidup akibat peningkatan status sosial ekonomi menjadi pemicu utama kemunculan kasus kegemukan pada anak-anak, di samping faktor genetik.
Anak-anak dari kelompok masyarakat menengah ke atas sekarang lebih familiar pada jajanan atau makan cepat saji yang kaya lemak dan karbohidrat tetapi rendah serat.
Coklat, es krim, permen, aneka jenis kue, burger, piza, kentang goreng, dan berbagai merek ayam goreng kini mengepung mereka.
Selain lebih praktis, penampilan makanan tersebut biasanya sangat menarik dan menggugah selera. Apalagi disertai oleh iklan yang atraktif di berbagai media.
Ada kesan seolah-olah ketinggalan sekian puluh tahun di belakang jika tidak mengonsumsi. Jadilah anak-anak kita seringkali ''termakan'' iklan dan terbawa arus.
Nyaris tak ada pertimbangan mengenai kandungan gizi yang dibutuhkan ketika melahap berbagai jenis makanan atau jajanan itu.
Pola makan empat sehat lima sempurna yang dulu sangat populer, yaitu terdiri atas nasi, lauk-pauk, sayur, buah, dan susu, saat ini sudah tidak lagi dipedulikan.
Pola makan anak-anak sekarang berubah sangat luar biasa. Keseimbangan unsur-unsur gizi berupa karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral hampir pasti diabaikan.
Ada kecenderungan seorang anak makan bukan untuk mengatasi rasa lapar, melainkan untuk memenuhi kepuasannya terhadap makanan yang disenangi. Kalau belum puas maka belum akan berhenti.
Tak sedikit seorang anak berumur lima tahun makanannya mengandung 3.000 kalori dalam sehari. Jumlah itu luar biasa karena kebutuhan seorang anak usia 4-6 tahun hanya 1.600 kalori/hari.
Berarti ada kelebihan sekitar 1.400 kalori. Jika itu terjadi setiap hari maka dalam setahun kelebihan 500 ribu kalori lebih.
Kelebihan itu dalam perhitungan kasar akan diubah oleh tubuh menjadi setara 56 kg lemak sehingga dalam setahun berat badan si anak bertambah 56 kg. Betapa mengerikan!
Perubahan pola makan tersebut diikuti oleh gaya hidup yang tidak terlalu banyak aktivitas atau gerak. Antar-jemput sekolah dengan mobil saat ini sudah menjadi hal biasa bagi sebagian anak-anak.
Kalau pun tidak ada mobil pribadi maka masih ada sepeda motor yang sekarang makin gampang diperoleh atau tersedia cukup banyak alternatif angkutan umum.
Santai
Permainan anak-anak sekarang pun sebagian besar kurang menonjolkan gerakan fisik. Bermacam games dan play station cukup dimainkan sambil duduk santai atau bahkan tiduran.
Sangat berbeda dari permainan ''kuno'' anak-anak zaman dulu yang lebih banyak aktivitas fisiknya. Antara lain petak umpet, gobak sodor, lompat tali, dan sebagainya.
Jadi lengkap sudah faktor-faktor yang mendorong kasus kegemukan. Pola makan yang didominasi oleh karbohidrat atau lemak ditambah kurang gerak sehingga energi berupa kalori menumpuk.
Kegemukan timbul karena kelebihan energi. Artinya, jumlah energi yang masuk dari makanan melebihi energi yang digunakan oleh tubuh.
Beberapa pakar mendefinisikan kegemukan sebagai suatu keadaan, yakni lemak dalam tubuh 20% di atas normal. Proporsi lemak pria normal adalah 11%-20% dari berat badan, sedangkan wanita 18%-28%.
Masih terlalu sedikit penelitian mengenai kegemukan, terutama pada anak-anak yang dilakukan di Indonesia, sehingga jumlah penderita atau prevalensinya belum diketahui pasti.
Penelitian Fakultas Kedokteran Unpad (1993) terhadap siswa kelas VI SD dengan tingkat sosial ekonomi baik di Kota Bandung menunjukkan 23% murid laki-laki dan 28% murid wanita menderita kegemukan.
Angka tersebut memang belum bisa dijadikan patokan, tetapi paling tidak menjadi gambaran bahwa kegemukan telah mengancam anak-anak kita.
Kegemukan berpotensi menimbulkan berbagai penyakit, terutama jantung koroner, diabetes mellitus (kencing manis), hipertensi (tekanan darah tinggi), hiperlipidemia, dan rematik sendi.
Di samping itu, menyebabkan problem psikologis tersendiri karena orang yang kegemukan cenderung menjadi kurang percaya diri.
Penyakit jantung hingga kini masih menjadi ''pembunuh nomor wahid'' sehingga perhatian terhadap faktor-faktor risikonya perlu dilakukan secara serius.
Ada anggapan jantung adalah penyakit orang-orang yang sudah tua. Namun dalam perkembangannya penyakit itu telah merenggut nyawa orang-orang muda usia.
Sebagai salah satu faktor risiko penyakit jantung, kegemukan mesti diwaspadai. Bahkan sejak masih usia dini, sehingga jangan hanya bangga melihat anak kita gemuk tetapi waspadalah.
Kegemukan pada anak-anak bisa diatasi lewat cara mengurangi energi atau kalori sebatas tidak mengganggu proses tumbuh kembangnya.
Di samping itu, memperbesar penggunaan energi yang tersimpan dalam tubuh si anak dengan cara memperbanyak aktivitas fisik, terutama olahraga.
Seorang anak penderita kegemukan tidak perlu diet mati-matian atau bahkan menggunakan obat penekan nafsu makan yang malah akan berakibat buruk terhadap kesehatannya.
Diet paling aman dan mudah dilakukan adalah diet rendah kalori seimbang. Diet ini berusaha menyesuaikan kalori dengan kebutuhan anak sesuai umur, berat badan ideal, tingkat kegemukan, dan aktivitas anak.
Kalori yang dikurangi adalah karbohidrat dan lemak yang terkandung di dalam makanan. Pemberian makan dibagi tiga kali sehari dan makanan selingan diberikan di antara waktu makan dalam jumlah terbatas.
Makanan selingan disarankan berupa buah-buahan karena berkalori rendah tetapi kaya kandungan vitamin, mineral, dan serat.
Sesuai Kebutuhan
Mulai bayi hingga berumur enam tahun anak akan cenderung kegemukan tetapi berat badannya makin berkurang seiring dengan pertambahan usia. Dengan demikian mereka tak butuh diet ketat.
Disarankan memberikan makanan sesuai dengan kebutuhan normal. Terpenting jangan sampai berat badan si anak meningkat terus. Biasanya berat badan ideal baru akan tercapai dalam waktu satu atau bahkan empat tahun karena anak akan bertambah tinggi.
Berbeda dari sebelumnya, pada umur tujuh tahun anak penderita kegemukan perlu mulai mengurangi kandungan kalori makanannya secara bertahap.
Usahakan makanan mereka mengandung 500 kalori di bawah kebutuhan normal supaya kekurangan kalori bisa diambil dari cadangan lemak yang tersimpan dalam tubuh.
Jenis makanan dan keseimbangan gizi penting diperhatikan. Orang tua harus memperhatikan kecukupan gizi yang terkandung dalam makanan anak, bukan jumlah yang dimakan.
Dalam konteks ini seyogianya orang tua berkonsultasi dengan dokter atau ahli gizi sehingga pengaturan makan si anak lebih terkontrol.
Selain diet, untuk mengatasi kegemukan pada anak bisa ditempuh melalui upaya mengubah perilaku makannya. Biasakan makan hanya pada waktunya.
Anak-anak yang kegemukan punya kecenderungan makan lebih cepat, menyuap lebih banyak, dan mengunyah lebih sering.
Membiasakan makan lebih lambat sambil diajak berbincang adalah cara paling baik untuk mengubah perilaku. Di samping itu, perlu sedikit-sedikit minum untuk memberikan rasa kenyang lebih cepat.
Sendok dan garpu sebaiknya diletakkan di bagian belakang piring saat mulut masih penuh makan, sehingga mengurangi keinginan anak untuk segera menghabiskan makanannya.
Jangan menempatkan piring lauk di depan anak untuk mengurangi keinginan menambah porsi. Usahan si anak betah pada suasana makan supaya tidak tergesa-gesa menyelesaikan makannya.
Waktu makan lebih baik tidak sembari menonton TV atau video karena seringkali tanpa disadari anak akan mengambil makanan yang tersedia tanpa melihat jumlahnya.
Jangan membiasakan jajan pada anak. Terlalu sering jajan membuat nafsu makan mereka berkurang saat waktu makan tiba karena sudah merasa kenyang.
Pada umumnya jajanan mengandung kalori tinggi tetapi nilai gizinya kecil atau bahkan hampir tidak ada. Selain itu, kemungkinan kena penyakit lebih besar karena tak terkontrol kebersihannya.
Untuk kegiatan fisik dianjurkan berjalan kaki bersama orang tua setiap hari selama setengah jam. Penting pula mendorong anak agar lebih banyak melakukan aktivitas atau bermain yang bersifat fisik. Contohnya bersepeda, sepak bola, naik tangga, dan sebagainya.(Bambang Tri Subeno, wartawan Suara Merdeka di Semarang-27)






















Taraf pemakanan kanak-kanak berumur satu hingga enam tahun di FELDA Sg. Koyan, Pahang
(Nutritional status of children aged one to six years in Sg. Koyan FELDA in Pahang)

Soon Suat Duan dan Khor Geok Lin
Department of Nutrition and Community Health, Faculty of Human Ecology, Universiti Pertanian Malaysia, 43400 Serdang
ABSTRAK
Tujuan kajian ini adalah untuk menilai taraf pemakanan kanak-kanak di FELDA Sungai Koyan, Pahang. Ukuran antropometri telah dijalankan di atas 105 orang kanak-kanak yang terdiri daripada 62 lelaki dan 43 perempuan berumur 12 hingga 72 bulan. Daripada jumlah kanak-kanak tersebut, maklumat pengambilan makanan ke atas seramai 84 kanak-­kanak yang berumur 4 hingga 6.9 tahun dilaksanakan. Faktor sosio-ekonomi yang dapat mempengaruhi taraf pemakanan kanak-kanak juga dikaji. Hasil ukuran antropometri kanak-kanak mendapati sebanyak 14.3% (n=15) kanak-kanak mengalami kekurangan berat badan, 10.5% (n=11) kebantutan dan 2.9% (n=3) kesusutan berdasarkan Rujukan NCHS, manakala terdapat 28.6% (n=30) kanak­-kanak mempunyai ukuran lilitan lengan kiri yang rendah berdasarkan rujukan Frisancho yang menandakan kekurangan simpanan kalori dan protein. Dari segi kajian diet bagi kanak-kanak lelaki dan perempuan yang berumur 4-6.9 tahun, purata pengambilan kalori, kalsium, niasin dan tiamin adalah bawah paras yang disyorkan untuk Malaysia. Walau bagaimanapun, pengambilan protein, ferum, vitamin A, riboflavin dan vitamin C adalah melebihi paras saranan. Dari segi kekerapan pengambilan makanan, kajian menunjukkan jenis makanan yang paling kerap diambil adalah seperti nasi, ikan, susu dan daging. Makanan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan juga kerap diambil oleh kanak-kanak. Berdasarkan kepada ujian korelasi Pearson terdapat perkaitan yang bererti antara taraf pemakanan kanak-kanak (berat ikut umur dan ketinggian ikut umur) dengan pendidikan ibu dan bilangan anak, manakala tahap pengetahuan pemakanan ibu juga menunjukkan perkaitan yang bererti di antara taraf pemakanan kanak-kanak (berdasarkan berat ikut umur).

Pengambilan kalori yang tidak mencukupi merupakan salah satu faktor penting yang menyebabkan malnutrisi protein-­tenaga. Masalah ini juga dipengaruhi oleh faktor sosio-­ekonomi seperti tahap pendidikan dan pengetahuan pemakanan ibu serta bilangan anak dalam isirumah. Ibubapa seharusnya digalakkan untuk melibatkan diri dalam aktiviti yang menambahkan pengetahuan pemakanan dan menggalakkan amalan pemakanan yang baik. Pihak FELDA digalakkan mengadakan lebih aktiviti tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar